Monday, November 15, 2010

Ko Disepelein Ya??


Mengunjungi pameran merupakan salah satu kegemaranku. Sebut aja, dari pameran komputer, buku, dsb. Menurutku, banyak hal yang bisa kita perhatikan dan pelajari dari para peserta pameran, entah dari produknya, harganya, dsb. Tapi yang pasti, idenya donk. Banyak ide keatif yang seringkali sudah kita sadari, tapi tidak kita wujudkan dalam bentuk nyata. Nah, di tangan merekalah ide-ide itu direalisasikan.

Beberapa waktu lalu, aku berkunjung ke sebuah pameran franchise di JCC. Tiket masuknya 50ribu rupiah/orang, harga yang cukup mahal bila dibandingkan dengan pameran-pameran lain di tempat yang sama, yang biasanya membandrol harga tiketnya sekitar 10-20ribu rupiah.

Tapi harga yang dibayarkan sesuai dengan pembelajaran yang aq dapatkan. Berbagai bentuk bisnis waralaba yang umumnya dari produsen lokal, dipamerkan di sana. Banyak ide-ide bisnis yang unik dan menarik bermunculan. Sebut saja bisnis makanan dan minuman yang bervariasi, dari citarasa lokal sampai internasional ada disana.

Sayangnya, aq mendapat perlakuan yang kurang mengenakkan dari beberapa stand yang ada, salah satunya dari bisnis martabak “hitam” dari kota kembang. Rasa ingin tahu yang besar terhadap produk dan sistem bisnis yag ditawarkan membuatku mengajukan berbagai pertanyaan ke pemilik usaha (atau karyawan yang ada disitu). Tapi entah mengapa, mereka menjawab dengan malas-malasan. Memang, nominal investasi yang ditawarkan sangat besar bila dibandingkan bisnis serupa. Aq memang bukan pengunjung berkantong tebal, atau bisa dibilang ngga ada apa-apanya bila dibandingkan pengunjung lain yang berkantong tebal dan berkemampuan investasi besar. Tapi, itu bukan alasan untuk menyepelekan orang kan?? Bisa aja, suatu hari nanti aq mampu membeli waralaba itu, who knows??

Sempet sebel juga sih, tapi aq mengambil hikmah dari kejadian itu. Klise sih, dalam bisnis, pembeli adalah raja. Saat ini, perang yang terjadi bukan saja perang produk dan harga, tapi service juga menentukan kepuasan pembeli. Tidak ada patokan penampilan atas calon pembeli yang berhak datang dan berbelanja. Semua berhak mendapat perlakuan yang baik dari si penjual.

Monday, November 8, 2010

That's What I Called "Solidarity"

Beberapa minggu belakangan ini qta disuguhi oleh berbagai pemberitaan tentang bencana-bencana yang terjadi secara berurutan di Indonesia. Dari banjir besar di Wasior, Gempa Merapi, hingga tsunami di Kepulauan Mentawai.

Awalnya, salah seorang teman kantorku merasa kasihan melihat penderitaan korban-korban Merapi dan Mentawai di TV. Akhirnya, aq dan beberapa teman tergerak untuk mengumpulkan donasi dan membelanjakannya dengan berbagai kebutuhan yang diperlukan para korban di masing-masing lokasi bencana. Sebenernya sih, udah ada kotak donasi yang disediakan oleh pihak perusahaanQ. Tapi kita berpikir, bantuan dalam bentuk barang akan lebih tepat diberikan, ditengah suasana yang tidak menentu di sana.

Berbagai informasi mengenai kebutuhan para korban bencana dikumpulkan dari teman atau kerabat yang kebetulan berada di lokasi-lokasi bencana tersebut. Selanjutnya mengumpulkan donasi. Dengan menghubungi beberapa teman, keluarga dan komunitas tertentu, akhirnya terkumpullah uang sebesar 2,8juta rupiah (maaf, lupa jumlah pastinya). Sebuah angka yang bisa dibilang kecil, bila dibandingkan dengan donasi-donasi dari perusahaan atau komunitas lain, namun cukup besar mengingat spontanitas pengumpulan dana dan berartinya donasi tersebut bagi saudara-saudara kita di sana.

Tahap selanjutnya, membelanjakan uang donasi tersebut. Dengan list kebutuhan di tangan, pergilah kami berbelanja di sebuah hypermart di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Hasilnya, berbagai kebutuhan bagi korban bencana terkumpul, antara lain: susu kemasan, biskuit, air mineral, tissue basah dan pembalut.

Tujuan berikutnya, Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Barang yang akan dibeli adalah: selimut, pakaian dalam, dan tikar. Dalam perjalanan menuju kesana, kami mampir ke beberapa apotek untuk membeli masker. Dari informasi yang kita peroleh, banyaknya korban bencana dan para sukarelawan di Yogya, membuat jumlah persediaan masker menjadi langka. Mereka harus membeli masker dari Solo atau Semarang, karena kota-kota di sekitarnya juga membutuhkan masker akibat abu Merapi yang mencapai kota mereka. Alhamdulillah, dari apotek itu kita mendapat potongan harga, sebagai bentuk kepedulian mereka atas bencana yang terjadi.

Sesampainya kami di Pasar Jatinegara, kami langsung berbagi tugas. Sebagian membeli tikar, dan sebagian lagi membeli pakaian dalam dan selimut. Kebetulan aq mendapat tugas membeli pakaian dalam dan selimut. Alhamdulillah, lagi-lagi kami mendapat potongan harga khusus dengan alasan kemanusiaan.

Selesai berbelanja, semua barang bantuan kami serahkan ke sebuah posko bantuan di Menteng, yang kemudian akan mengirimkannya ke lokasi-lokasi bencana.
Ternyata, tak hanya itu. Selama perjalanan kami berbelanja dan menuju posko bantuan, beberapa teman dan kerabat menghubungi kami, dan ikut memberikan donasi, padahal waktu itu kami sudah selesai berbelanja. Alhasil, setelah makan malam, kami berbelanja bantuan kloter kedua.

Karena sudah malam, kami memfokuskan diri untuk berbelanja kebutuhan di supermarket saja. Waktu yang terbatas, membuat kami harus bergerak cepat. Terkumpullah berbagai barang bantuan yang kemudian kita salurkan ke posko di Pondok Indah.

Melelahkan sekaligus menyenangkan. Cuma itu yang bisa digambarkan pada hari itu. Ide yang awalnya hanya spontanitas kami, didukung oleh berbagai pihak dan terwujud dengan baik dan lancar. Tulisan ini ngga bermaksud riya’ sama sekali. Pembelajaran yang kami dapat waktu itu, bangsa kita masih peduli satu sama lain. Terlepas dari berbagai pemberitaan soal baik buruknya bangsa ini, rasa solidaritas yang dimiliki masih sangat tinggi. Bantuan sekecil apapun bisa sangat berarti bagi saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Terima kasih buat semua pihak yang sudah membantu baik dalam bentuk uang, waktu maupun tenaga. Semoga Allah SWT membalas amal kalian semua. Amin.