Monday, April 11, 2011
Review: Magnum Cafe
Kali ini aq mau review soal Magnum Cafe. Pasti tau donk soal Ice Cream keluaran Wall’s yang satu ini. Sebenernya, ini adalah produk lama, premium vanila ice cream with the dark chocolate outside. Tapi kemudian muncul varian-varian baru; Almond dan Trouffle Chocolate.
Kemudian dengan kelihaian tim dibaliknya, terutama Brand Manager & staffs kali ya, dibentuklah imej baru dari ice cream ini, ice cream lezat dengan Belgium chocolate yang renyah di luarnya. Ga hanya itu, dari new repackage, launching the new magnum, hingga iklannya, membawa pesan bahwa ice cream ini membawamu ke zaman kerajaan, dimana kamu akan menjadi Prince or Princess-nya. Smart...very smart, i think. So jadilah “demam Magnum” di Jakarta, bahkan ice cream ini sempet langka lo, yang justru makin bikin orang penasaran.
Dalam rangkaian campaign-nya, Wall’s bikin Magnum Cafe yang ada di 5th Floor Grand Indonesia. Konsepnya pun dibuat dengan suasana kerajaan, dari interior, kostum yang dipakai oleh penerima tamu, photo booth lengkap dengan kursi kerajaan dan mahkotanya, bahkan ada kereta kencana!! Katanya sih, cafe ini cuma ada 3 bulan, kalo ga salah bakal berakhir di bulan Mei.
Karena penasaran, datanglah aq kesana, dan ternyataaa....antriannya panjang, Bo!!! Padahal itu masih terhitung weekday. Dan antrian sudah dibatasin untuk last order for dine in.
Sempet kecewa sih, tapi kemudian aq pilih take away ajalah. Saat order di kasir, kita disapa dengan sebutan “Lord” dan “Princess”, wah menyenangkan ya. Menunya pun diberi nama-nama unik seolah-olah makanan ini dikhususkan bagi raja dan ratu, atau putri dan pangeran. Untuk menu take away, kta hanya bisa order ice cream, tapi dengan topping yang kita pilih. Sebut saja, dari ice creamnya, mau pilih vanila or chocolate, lalu topping dark chocolate or milk, dan yg terakhir kita bisa pilih topping outsidenya, dari berbagai macam kacang, oreo, corn flakes atau rice crispy. Untuk kombinasi itu dibandrol 25ribu rupiah. Harga yang sesuai mengingat kualitas dan pengalaman yang didapat. Dan acungan jempol lagi, mereka menyediakan area makan, untuk para pengunjung yang membeli take away, jadi kita pun bisa menikmati ice cream itu dengan santai.
Masih penasaran, kali ini aq dan pacarQ niat dateng lagi, dan bertekad harus bisa dine in, hehehehe... Kali ini, antrian lebih menggila, tentu saja karena aq dateng pas weekend, tapi dibela-belain deh buat antri. Dan....akhirnya kita bisa masuk dan makan juga, phiuuuhh....
Kesan pertama, pelayannya sigap dan ramah. Dengan kondisi cafe yang rame banget, mereka dengan sigap membersihkan meja yang sudah kosong agar bisa dipakai oleh pengunjung berikutnya, dan yang paling penting, mereka melayani kita dengan senyum yang tulus. Catet ya, senyumnya tulus, bukan TEMPLATE face yang suka diberikan oleh BANYAK service di Indonesia.
Sebagai pembuka, kita order air mineral, soalnya haus banget abis ngantri, hehehe... Pelayan datang dengan dua botol air mineral dan dua buah gelas kaca. N u know what?? Gelasnya kotor!!!
Masi ada noda minyaknya, iyuuuugghhh.... akhirnya kami minta gelas itu diambil kembali.
Next, orderan pertama datang, minuman ini namanya Summer Tango, perpaduan antara mangga dan ice cream Magnum. Sebenernya sih segar banget, dan butiran coklatnya terasa. Tapi menurutku rasanya terlalu kecut :(
Menu berikutnya, Pette Di Pollo, ini adalah potongan ayam dengan mushroom, potato slice, creamy sauce dan irisan daun (ga tau basil or peterseli) di atasnya. Mungkin karena namanya Magnum Cafe, orang-orang lebih memilih menu manis daripada menu gurih. Buktinya, menu ini datangnya cukup cepat dibanding menu waffle or menu manis lainnya. Rasanya?? Tekstur ayamnya pas, dan creamy sauce-nya lezat, ga eneg. Dari skala 1-10, aq kasih nilai 9, yeayyyy!!!! \^.^/
Kemudian menu pilihanQ, Waffle De Regalia, Princess portion (princess for 1 ice cream, queen for 2 ice creams). No complain for the ice cream, tapi waffle-nya ga ok!! Waffle yang aku tahu itu renyah di luar, lembut di dalam. Sementara yang disajikan padaQ teksturnya sedikit alot dan masih terasa adonannya, seperti kurang matang. Sorry to say, aku Cuma kasih nilai 5 :(
Masih penasaran lagi, kita order menu tambahan, Court Jester, nachos dengan potongan daging, alpukat, paprika, dll. Rasanya nano-nano, hehehe... cukup enak, but it’s not my favorite one
So, overall cafe ini cukup ok, dengan antusias pengunjung yang besar, sayang aja kalau cafe ini cuma ada 3 bulan, dan cuma ada di satu lokasi, ya ga?? Aq ga tau cafe ini masuk kategori “recommended” or “unrecommended” ya?? Kalian tentuin sendiri, ok
R U Modern Enough??
Kalo denger kata “jejaring sosial” apa yang ada di pikiran kalian?? Pasti kalian akan menyebut Facebook, Twitter, dll. Sebenernya, semua media itu membantu kita memperluas pergaulan, sebut saja ketemu temen SMP atau bahkan temen SD setelah sekian lama ga pernah ketemu, yep media ini ngebantu banget kan?
Facebook dan Twitter punya keunikan masing-masing. Menurutku, Facebook lebih ke situs pertemanan, sementara Twitter lebih ke micro blogging dimana kamu bisa menulis apapun, dan para “pengikutmu” akan membacanya. Aq sendiri menggunakan twitter gak hanya sebagai media pertemanan aja, tp juga untuk tahu apa yg terjadi di dunia ini, tentu aja dengan “menguntit” beberapa akun berita atau apapun yang menarik bagiku.
Pada dasarnya si pemilik akun bisa berbagi dengan teman atau “followers” mereka soal apapun juga. You can share wether you happy, sad, or even falling in love. Biasanya kalau udah malam, sekitar jam 9 malam lah, aku menyebutnya “waktu Indonesia bagian GALAU”, hehehe... Tau kenapa? Karna sekitar jam-jam itu, asti banyak yang “curhat” lewat status mereka, baik di Facebook maupun di Twitter.
Yep, karena semua itu adalah akun di dunia maya, tentu saja kita bisa bebas berekspresi. Tapi ada etikanya lo. Ga jarang banyak pertengkaran yang dimulai dari “perang” status melalui situs jejaring sosial ini. Mulutmu harimaumu; kayaknya itu istilah yang tepat soal hal itu. Mengutip sebuah pernyataan dari seorang psikolog ternama di Jakarta, “Manusia modern tidak diukur dari berapa banyak akun jejaring sosial yang dimiliki, tapi dari seberapa bijak ia berucap dan menilai berbagai hal melalui media sosial itu”. I totally agree with him.
Aq punya pengalaman menarik soal itu, lebih tepatnya di Twitter. Pernah suatu saat aq “unfollowed” salah seorang teman, tapi bukan karena aq bertengkar atau punya masalah dengannya. Nope at all. We’re fine. Hanya saja, belakangan ini status di akunnya lebih ke berbagai penyataan yang mencela dan merendahkan berbagai hal. Aq tahu, dia memang jauh lebih tahu dari aku dalam hal itu, tapi bukan berarti dia terus mencela dan memaki-maki karya orang lain melalui media online kan?? Buatku, media Twitter bisa memberiku inspirasi, informasi, dll melalui akun-akun yang tepat. Dan kebetulan aq dan dia berbeda pendapat. Jadi, aq “unfollowed” aja.
Lucunya, entah gimana, dengan sebuah aplikasi, dia mengetahui siapa saja yang berhenti mengikuti akunnya, termasuk aq. Dan melalui statusnya di media lain, dia seolah mau mengatakan kalau aq udah berbuat dosa besar, dan akan block my tweet or put it as a spam.
Jujur aja, aq sempet kepikiran dan ngerasa gak enak hati, buatku kehilangan seorang teman adalah hal yang menyedihkan. Aq ga bermaksud untuk tidak mau berteman lagi dengannya, tapi ini hanya lebih ke cara pandang kita yang berbeda. Tidak berteman di Twitter bukan berarti tak bisa berteman di dunia nyata kan?
Tapi kemudian aku teringat penyataan psikolog di atas, butuh suatu kebijakan untuk menanggapi hal itu. Aq memang sengaja tidak menghubunginya, bukan karena apa-apa, tapi lebih karena aq ga peduli, biar saja ia menilai sendiri. Jadi, kalau gara-gara hal itu dia ga mau lagi berteman denganQ, ya silakan. Karena aq masih mau berteman dengannya.
Sama halnya dengan kebebasan berekspresi melalui status media online, “follower” pun menurutku bebas datang dan pergi juga. Kalau ada salah seorang “follower”ku yang pergi, i don’t care. Karena ini jejaring sosial, follower datang tak diundang, pergi pun silakan saja, ya kan?? *wink* ;)
Facebook dan Twitter punya keunikan masing-masing. Menurutku, Facebook lebih ke situs pertemanan, sementara Twitter lebih ke micro blogging dimana kamu bisa menulis apapun, dan para “pengikutmu” akan membacanya. Aq sendiri menggunakan twitter gak hanya sebagai media pertemanan aja, tp juga untuk tahu apa yg terjadi di dunia ini, tentu aja dengan “menguntit” beberapa akun berita atau apapun yang menarik bagiku.
Pada dasarnya si pemilik akun bisa berbagi dengan teman atau “followers” mereka soal apapun juga. You can share wether you happy, sad, or even falling in love. Biasanya kalau udah malam, sekitar jam 9 malam lah, aku menyebutnya “waktu Indonesia bagian GALAU”, hehehe... Tau kenapa? Karna sekitar jam-jam itu, asti banyak yang “curhat” lewat status mereka, baik di Facebook maupun di Twitter.
Yep, karena semua itu adalah akun di dunia maya, tentu saja kita bisa bebas berekspresi. Tapi ada etikanya lo. Ga jarang banyak pertengkaran yang dimulai dari “perang” status melalui situs jejaring sosial ini. Mulutmu harimaumu; kayaknya itu istilah yang tepat soal hal itu. Mengutip sebuah pernyataan dari seorang psikolog ternama di Jakarta, “Manusia modern tidak diukur dari berapa banyak akun jejaring sosial yang dimiliki, tapi dari seberapa bijak ia berucap dan menilai berbagai hal melalui media sosial itu”. I totally agree with him.
Aq punya pengalaman menarik soal itu, lebih tepatnya di Twitter. Pernah suatu saat aq “unfollowed” salah seorang teman, tapi bukan karena aq bertengkar atau punya masalah dengannya. Nope at all. We’re fine. Hanya saja, belakangan ini status di akunnya lebih ke berbagai penyataan yang mencela dan merendahkan berbagai hal. Aq tahu, dia memang jauh lebih tahu dari aku dalam hal itu, tapi bukan berarti dia terus mencela dan memaki-maki karya orang lain melalui media online kan?? Buatku, media Twitter bisa memberiku inspirasi, informasi, dll melalui akun-akun yang tepat. Dan kebetulan aq dan dia berbeda pendapat. Jadi, aq “unfollowed” aja.
Lucunya, entah gimana, dengan sebuah aplikasi, dia mengetahui siapa saja yang berhenti mengikuti akunnya, termasuk aq. Dan melalui statusnya di media lain, dia seolah mau mengatakan kalau aq udah berbuat dosa besar, dan akan block my tweet or put it as a spam.
Jujur aja, aq sempet kepikiran dan ngerasa gak enak hati, buatku kehilangan seorang teman adalah hal yang menyedihkan. Aq ga bermaksud untuk tidak mau berteman lagi dengannya, tapi ini hanya lebih ke cara pandang kita yang berbeda. Tidak berteman di Twitter bukan berarti tak bisa berteman di dunia nyata kan?
Tapi kemudian aku teringat penyataan psikolog di atas, butuh suatu kebijakan untuk menanggapi hal itu. Aq memang sengaja tidak menghubunginya, bukan karena apa-apa, tapi lebih karena aq ga peduli, biar saja ia menilai sendiri. Jadi, kalau gara-gara hal itu dia ga mau lagi berteman denganQ, ya silakan. Karena aq masih mau berteman dengannya.
Sama halnya dengan kebebasan berekspresi melalui status media online, “follower” pun menurutku bebas datang dan pergi juga. Kalau ada salah seorang “follower”ku yang pergi, i don’t care. Karena ini jejaring sosial, follower datang tak diundang, pergi pun silakan saja, ya kan?? *wink* ;)
Subscribe to:
Posts (Atom)