Kalo denger kata “jejaring sosial” apa yang ada di pikiran kalian?? Pasti kalian akan menyebut Facebook, Twitter, dll. Sebenernya, semua media itu membantu kita memperluas pergaulan, sebut saja ketemu temen SMP atau bahkan temen SD setelah sekian lama ga pernah ketemu, yep media ini ngebantu banget kan?
Facebook dan Twitter punya keunikan masing-masing. Menurutku, Facebook lebih ke situs pertemanan, sementara Twitter lebih ke micro blogging dimana kamu bisa menulis apapun, dan para “pengikutmu” akan membacanya. Aq sendiri menggunakan twitter gak hanya sebagai media pertemanan aja, tp juga untuk tahu apa yg terjadi di dunia ini, tentu aja dengan “menguntit” beberapa akun berita atau apapun yang menarik bagiku.
Pada dasarnya si pemilik akun bisa berbagi dengan teman atau “followers” mereka soal apapun juga. You can share wether you happy, sad, or even falling in love. Biasanya kalau udah malam, sekitar jam 9 malam lah, aku menyebutnya “waktu Indonesia bagian GALAU”, hehehe... Tau kenapa? Karna sekitar jam-jam itu, asti banyak yang “curhat” lewat status mereka, baik di Facebook maupun di Twitter.
Yep, karena semua itu adalah akun di dunia maya, tentu saja kita bisa bebas berekspresi. Tapi ada etikanya lo. Ga jarang banyak pertengkaran yang dimulai dari “perang” status melalui situs jejaring sosial ini. Mulutmu harimaumu; kayaknya itu istilah yang tepat soal hal itu. Mengutip sebuah pernyataan dari seorang psikolog ternama di Jakarta, “Manusia modern tidak diukur dari berapa banyak akun jejaring sosial yang dimiliki, tapi dari seberapa bijak ia berucap dan menilai berbagai hal melalui media sosial itu”. I totally agree with him.
Aq punya pengalaman menarik soal itu, lebih tepatnya di Twitter. Pernah suatu saat aq “unfollowed” salah seorang teman, tapi bukan karena aq bertengkar atau punya masalah dengannya. Nope at all. We’re fine. Hanya saja, belakangan ini status di akunnya lebih ke berbagai penyataan yang mencela dan merendahkan berbagai hal. Aq tahu, dia memang jauh lebih tahu dari aku dalam hal itu, tapi bukan berarti dia terus mencela dan memaki-maki karya orang lain melalui media online kan?? Buatku, media Twitter bisa memberiku inspirasi, informasi, dll melalui akun-akun yang tepat. Dan kebetulan aq dan dia berbeda pendapat. Jadi, aq “unfollowed” aja.
Lucunya, entah gimana, dengan sebuah aplikasi, dia mengetahui siapa saja yang berhenti mengikuti akunnya, termasuk aq. Dan melalui statusnya di media lain, dia seolah mau mengatakan kalau aq udah berbuat dosa besar, dan akan block my tweet or put it as a spam.
Jujur aja, aq sempet kepikiran dan ngerasa gak enak hati, buatku kehilangan seorang teman adalah hal yang menyedihkan. Aq ga bermaksud untuk tidak mau berteman lagi dengannya, tapi ini hanya lebih ke cara pandang kita yang berbeda. Tidak berteman di Twitter bukan berarti tak bisa berteman di dunia nyata kan?
Tapi kemudian aku teringat penyataan psikolog di atas, butuh suatu kebijakan untuk menanggapi hal itu. Aq memang sengaja tidak menghubunginya, bukan karena apa-apa, tapi lebih karena aq ga peduli, biar saja ia menilai sendiri. Jadi, kalau gara-gara hal itu dia ga mau lagi berteman denganQ, ya silakan. Karena aq masih mau berteman dengannya.
Sama halnya dengan kebebasan berekspresi melalui status media online, “follower” pun menurutku bebas datang dan pergi juga. Kalau ada salah seorang “follower”ku yang pergi, i don’t care. Karena ini jejaring sosial, follower datang tak diundang, pergi pun silakan saja, ya kan?? *wink* ;)
No comments:
Post a Comment